Seize The Day
Malam itu, sehabis adzan isya berkumandang aku menemui istriku yang tengah menonton televisi. Anakku terlihat serius mengerjakan soal matematika di ruang tamu. Malam itu aku berbincang-bincang dengan istriku yang tengah hamil tujuh bulan. Aku sengaja tidak menyapanya dan duduk melihat tayangan iklan di tv hingga akhirnya istriku memulai pembicaraan.
“mas, beras mulai menipis. Uang sekolah anak kita nunggak dua bulan, bulan depan kita pasti akan menerima surat dari sekolah. Belum lagi setoran listrik, dan kebutuhan sehari-hari lainnya” istriku memulai pembicaraan.
“nanti aku cari pekerjaan, jika terpaksa aku cari hutangan” jawabku.
“hutang? Hutang kita sudah numpuk, mas. Berapa bungkus rokok yang belum aku bayar di toko bu Minah? Aku jadi malu berhutang ke bu minah, mas.” Kata istriku. Aku terdiam, hingga anakku selesai belajar dan mulai mengantuk. Sebelum menuju kamar, anakku menghampiri istriku, dan bilang untuk minta dibelikan sepatu baru. Sepatu yang kubelikan dua tahun yang lalu masih ia pakai. Kuperhatikan semakin hari semakin mengenaskan dan tak sedap di pandang. Sambil terbatuk dua kali ia melangkah menuju kamar untuk tidur.
Sudah agak lama aku dan istriku saling berdiam. Aku pura-pura fokus melihat ke arah televisi, walaupun pikiranku sedang terpelanting ke kanan ke kiri tak menentu. Pukul 21.00 wib terdengar seseorang sedang mengetuk pintu rumahku. Aku bergegas menuju pintu untuk membukanya. Rupanya teman-temanku.
“mir, malam ini ada kerjaan. Gajinya bisa untuk dinikmati selama dua bulan” bisik Rudi.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Melihat kondisi keuangan keluargaku, ini kesempatan bagiku. Tanpa berpikir tiga kali aku menyanggupinya dan menyuruh Rudi untuk menunggu sebentar. Aku ke belakang menuju istriku.
“malam ini aku nginep di rumah Rudi” seruku pada istriku
“mau ngapain disana?” Tanya istriku
Tanpa menjawabnya aku keluar sambil memakai jaket hitam yang berbahan kulit. Sebelum menutup pintu kudengar istriku mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. Akupun tak menghiraukannya dan terus menutup pintu. Bersama ke empat temanku aku meninggalkan rumah menaiki mobil phanter.
Malam ini kami menuju ke rumah bapak Rahmat. Dia baru datang dari tanah rantau. Dia adalah salah satu pengusaha sukses di perantauan. Malam ini kami mau merampok rumah pak Rahmat. 25 menit kami tiba di dekat rumahnya. Mobil kami parkir 100 meter dari jarak rumahnya. Kami menunggu sepi untuk mengeksekusinya.
Tepat pukul 23.00 kami berempat mulai turun dari mobil dan menuju ke rumah pak Rahmat, sementara Beni tetap di mobil untuk jaga-jaga. Kami bergerak setidakberisik mungkin. Rudi dan Samsul sembunyi di samping rumah, sementara aku dan yanto bertugas untuk melumpuhkan korban. Yanto mulai mengetuk pintu rumah pak Rahmat, sedangkan aku bersiap-siap untuk menerjang pak Rahmat. Ketukan pertama tidak ada respon, ketukan kedua juga tidak ada respon, ketukan ketiga mulai ada respon. Sayup-sayup kudengar suara anak kunci berputar, aku bersiap-siap menyandera korban. ‘kriekkkkkk…….. bukkk”. Rupanya rembulan yang menerangi malam itu tidak memihak kepada aku. Apes, sial.
Kepalaku terkena pukulan cukup keras. Aku terjatuh, sementara ketiga temenku lari tak nentu arah. Belum sempat untuk bangun, sebuah kaki menindih dadaku. Malam itu aku hanya bisa pasrah. Jika melawan, pentungan sudah siap mendarat di mukaku.Tak perlu menunggu lama, polisi pun datang. Dalam keadaan pasrah aku dibawa ke kantor polisi.
Hari-hari pertama di penjara kulalui dengan kegiatan merenung, menyesali, dan memikirkan keluargaku di rumah. entah mereka sudah tau perihal aku diperjara atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah anakku akan menanyakan kepulanganku kepada istriku, aku tidak tahu. Dua minggu kemudian istriku mendatangiku di penjara. Makanan rantang dibawanya yang isisnya berupa nasi jagung beserta lauk sederhananya, yakni tempe dan ikan asin. Kupandangi istriku enggan menatap wajahku, entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya.
Akhirnya kuberanikan bertanya “kok bisa tahu kalau aku disini?”
“Rudi memberitahuku empat hari yang lalu” jawab istriku
“Noval juga tahu kalau aku disini? Aku mencoba tidak memutus obrolan.
“tidak. Waktu itu dia masih di sekolahnya. Dan kurasa dia tak perlu tahu” jawabnya acuh
“oh. Maafkan aku” aku tertunduk.
Kami saling berdiam sejenak. Saat itu aku benar-benar merasa menyesali perbuatanku. Aku tak punya asalan untuk memberanikan menatap wajah istriku. Aku tidak memberanikan untuk bertanya dapat dari mana uang selama aku berada di penjara. Hingga akhirnya dia berbicara lagi kepadaku.
“seharusnya malam itu aku tidak mengijinkan pergi jika akhirnya kau harus mendekam disini” ucap istriku
“aku minta maaf…” belum selesai berbicara, istriku memotong pembicaraanku.
“tidak. Tidak perlu meminta maaf. Semua sudah terjadi. Dan pada akhirnya aku harus berusaha menafkahi anakku sendiri, berusaha meminimalisir pengeluaran uang, berusaha mengirit beras yang tinggal beberapa gelas lagi” istriku berbicara tanpa mematap wajahku.
“carilah pinjaman dulu. Setelah keluar aku akan melunasinya” aku berusaha memegang tangannya.
Ia melepasnya dan berkata “hutang kita masih numpuk, mas. Kebutuhanku, anak kita, uang sekolah, belum lagi beberapa bulan lagi aku akan melahirkan”
Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran istriku, ia pulang dengan rantang kosong. Mataku masih mengawasi kepergiannya dengan harapan kepala itu mau menoleh kebelakang untuk menatapku. Dengan kepala tertunduk ia tak mau menoleh kepadaku. Aku pun kembali ke sel tahanan..
Dua hari berikutnya tetanggaku menjengukku di tahanan. Ia menemuiku untuk mengabarkan bahwa istriku sudah meninggal. Isttiku tertabrak mobil waktu pulang dari menjengukku dua hari yang lalu. Aku semakin bersedih. Ia juga menceritakan tentang nasib anakku yang terus menanyai keberadaanku. Dia juga memberitahu kalau anakku lagi diasuhnya untuk sementara waktu.
Aku masih mendekam di penjara. Istriku sudah meninggal. Sementara, anakku diasuh orang lain. Ia sudah putus sekolah. Dan aku kini meratapi kegagalanku sebagai seorang suami dan gagal menjadi seorang ayah.
Komentar
Posting Komentar